Merdekakah kita?
Oleh Amir
Semua orang Indonesia ketika
ditanya pertanyaan diatas pasti memiliki jawaban yang beragam. Jikalau kita
bertanya kepada seorang penguasaha atau konglomerat yang kaya raya, ia pasti
menjawab “kita telah merdeka!” namun jikalau kita bertanya kepada seorang
petani miskin yang melarat ia pasti menjawab “merdeka apanya, buat makan sehari
hari aja susah…” begitupun jikalau kita bertanya kepada orang dengan berbagai
profesi, pasti jawaban mereka tidak akan berbeda jauh dengan kondisi pekerjaan
yang digelutinya. Jikalau kita melihat dari sudut pandang itu, sepertinya
kemerdekaan hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi atau pendapatan sehari
hari saja, apakah mensejahteraan atau tidak. Jikalau merasa sudah sejahtera,
dalam artian segala keperluan dan kebutuhan hidupnya terpenuhi, bolehlah orang
tersebut merasa telah merdeka. Akan tetapi jikalau segala keperluan dan
kebutuhan hidupnya masih sulit terpenuhi, segala susah, ini susah itu susah,
merasa tidak mendapatkan haknya, merasa tidak diperlakukan secara adil, maka
orang tersebut merasa belum merdeka, dalam artian masih terjajah!
Kita pasti mengetahui, bahwa
arti kemerdekaan sangatlah umum tergantung dimana kita meletakannya. Jikalau
kita meletakan kata merdeka itu diatas “kedaulatan nasional” secara de facto
dan de jure dari bangsa asing, maka negara kita telah merdeka 68 tahun yang
lalu! Jikalau kita meletakan kata merdeka itu diatas “kebebasan berekspresi dan
berbicara didepan umum” maka negara kita telah merdeka selama 15 tahun
terhitung sejak 1998 sejak era reformasi! Jikalau kita meletakan kata merdeka
itu diatas “keadilan social dan keadilan ekonomi” maka mungkin sebagian orang
masih bertanya Tanya? Keadilan social bisa kita artikan sebagai persamaan dan
pemerataan kedudukan setiap warga negara dalam mendapatkan hak maupun dalam
menunaikan kewajiban sebagai warga negara, tidak ada perlakuan yang berbeda
yang dilatarbelakangi oleh suku, agama, ras, golongan, ataupun stasus social
tertentu baik dalam bidang pendidikan, hukum, kesehatan, keamanan, dan lain
sebagainya. Jika keadlian social benar benar ditegakan maka setiap orang
berpeluang untuk mencapai apa yang ia inginkan, seperti mencapai karir
tertentu, mencapai jabatan tertentu, melakukan pekerjaan tertentu, berbicara
tentang masalah tertentu, juga setiap orang mendapat perlakuan yang sama
didepan hukum. Jika keadilan social benar benar tegak, kita tak akan menemukan
seorang pejabat yang korupsi miliaran rupiah hanya dihukum 4 tahun penjara,
sedangkan seorang pemuda pengangguran yang mencuri 5 ekor ayam dihukum sampai
10 tahun penjara!
Sedangkan keadilan ekonomi
berarti pemerataan ekonomi. Setiap orang
mendapatkan keadilan dalam pekerjaan, penghasilan, dan pendapatan. Dalam konsep
sosialis karl marx, keadilan ekonomi berarti setiap orang mendapatkan “apa yang
ia butuhkan”. Setiap orang cukup akan
kebutuhan dan keperluan hidupnya sehari hari. Satu cita cita yang mulia memang.
Namun konsep ini meminggirkan hukum kehidupan yakni “Setiap orang layak
mendapatkan apa yang ia usahakan”. Dalam konsep keadilan ekonomi karl marx,
setiap orang mendapatkan harta “sesuai dengan apa yang ia butuhkan, bukan apa
yang ia usahakan” konsep ini berarti mengatakan seorang pengangguran dan
seorang pekerja mendapatkan harta yang
sama. Menegakan keadilan dengan cara yang tidak adil bukan? Kenapa orang yang
bekerja dan orang yang tidak bekerja mendapat harta yang sama?
Sudahlah, kita tidak akan
memperbincangkan dengan teori teori tentang keadilan social maupun teori
tentang keadilan ekonomi lebih jauh, bukan untuk itu tulisan ini di buat.
Tulisan ini hanya ingin sekedar mengajak kepada pembaca supaya benar benar
menyadari arti kata merdeka itu. Untuk meletakan kata merdeka itu pada tempat
yang tepat sesuai dengan keadaan kita, bolehlah kita gunakan jalan
perbandingan. Yakni dengan membandingkan keadaan kita sekarang, dengan keadaan
kita beberapa tahun yang lalu, bahkan beberapa puluh tahun yang lalu.
Cobalah tengok, apa yang ditulis
Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah I. Tatkala bangsa
Indonesia masih terjajah oleh belanda disana Suryanegara menulis” pada Congres
National Centraal Syarikat Islam di Bandung, Syarikat Islam menuntut bahwa
segenap undang undang yang akan diberlakukan untuk pribumi, harus dibuat bersama
dengan pimpinan perwakilan dari rakyat Indonesia. Kongres menuntut adanya Dewan
Perwakilan Rakyat” lalu kemudian pemerintahan belanda mengabulkannya dengan
dibentuknya Volksraad atau Dewan Rakyat pada tahun 1918.
Gilbert Khoo, dalam A History Of South East Asia since
1500, menjelaskan perbandingan jumlah keanggotaan Volksraad, wakil belanda 30
orang, pribumi 20 orang, dan timur asing 5 orang”. Salah satu wakil rakyat
Indonesia di Volksraad ketika itu ialah HOS Tjokroaminoto. Bandingakn, 20 orang
pribumi Indonesia akan menghadapi 35 orang asing dalam membuat undang undang di
Indonesia atau hindia belanda ketika itu, lagi pula, menurut Suryanegara,
Volksraad bukanlah badan legislative sebagai pembuat huku, melainkan hanyalah
badan penasihat Pemerintahan Hindia Belanda. Jadi suara suara dari pribumi
Indonesia ketika sama sekali tidak didengar dan tidak berhasil membuat undang
undang yang mensejahteraan rakyat.
Baik kita bandingkan dengan kondisi sekarang, apakah
kondisi bangsa kita seperti 100 tahun kebelakang? Tentu tidak. Bangsa kita
sudah memiliki pemerintahan sendiri, bahkan tidak ada satu orang asing pun yang
ikut campur pada pembuatan undang undang atau hukum. Badan legislative sekarang
telah dibentuk untuk membuat hukum dan undang undang. Anggotanya dipilih namun
seluruhnya dari pribumi. Pada tahun 2013 kemarin tercatat ada 560 kursi Dewan
Perwakilan Rakyat yang bertugas membuat hukum dan undang undang untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia? Bukankah itu suatu kemajuan? Bukankah kita
berkesempatan untuk mengurus masyarakat kita sendiri tanpa campur tangan asing
lagi? Yang dulu mungkin pada zaman Tjokroaminoto adalah sebuah utopi? Pak
Tjokro pada saat itu mati matian ingin membentuk DPR namun hanya Volksraad yang
kesampaian, itupun anggota dari pribumi hanya sedikit. Lha di zaman sekarang?
Seluruh wakil dan anggota yang ada di DPR adalah dari bangsa kita sendiri, kita
patut bersyukur atas kenyataan itu! juga diatas kertas, bahwa anggota DPR yang
akan membuat undang undang dan hukum itu akan melahirkan undang undang dan
hukum yang mensejahterakan bangsa Indonesia karena mereka adalah anak bangsa
juga. Ya, mereka duduk di DPR adalah anak bangsa, lahir, besar, dan tumbuh di
Indonesia. Anda tidak setuju dengan hukum yang keluar dari DPR? Anda ikut
pemilu, anda masuk ke DPR, cari dukungan sebanyak banyaknya, sebarkan anda
punya pandangan dengan giat dan gigih pelan pelan tujuan anda akan tercapai! Bukankah demikian? Sebuah karunia dan nikmat
yang sangat besar yang kita dapatkan ini, jangan sampai kita ingkar akan nikmat
itu! janganlah kita ingkar bahwa negeri kita ini telah merdeka! Negeri kita ini
telah mampu mengurus bangsanya sendiri dan setiap orang dari anak bangsa berhak
duduk di bangku DPR untuk ikut membuat hukum dan undang undang yang akan mensejahteraan
rakyat? Dulu kita hidup di negeri kita dan diatur oleh bangsa asing. Sekarang
kita hidup di negeri kita dan diatur oleh bangsa kita sendiri. Dahulu kita
melawan bangsa asing, lalu di masa sekarang, akankah kita akan melawan bangsa
sendiri?
Mungkin ada yang bertanya, “dahulu kita disengsarakan oleh
bangsa asing, sedangkan di jaman sekarang, kita disengsarakan oleh bangsa
sendiri, oleh segelintir anak bangsa yang hidup mewah dan bergelimang harta di
kursi Dewan dan melupakan penderitaan jutaan rakyat???” hey! sadarkah kita, siapakah yang memilih
anggota dewan itu? apakah kita seenaknya menyalahkan mereka, para pejabat yang
korup dan lalim itu, tanpa intropeksi diri sudahkah kita menjadi warga negara
yang cerdas? Jikalau kita mau berfikir, pemimpin yang korup muncul dikarenakan
dipilih oleh masyarakat yang korup! Tengoklah betapa sakitnya masyarakat kita
ketika musim kompanye, hanya uang, uang, dan uang yang menjadi perhatian. Siapa
calon pemimpin yang banyak memberikan uang dialah yang akan dipilih? Kita tak
perlu memperdebatkan hal ini karena sudah menjadi rahasia umum. Tengoklah
masyarakat kita lebih mementingkan popularitas sang calon pejabat dipandingkan
kemampuan lainnya, sehingga banyaklah pejabat kita yang berasal dari kalangan
artis? Masyarakat sehatkah masyarakat yang demikian? Jikalau selamanya kita punya
masyarakat tidak menjadi masyarakat sehat dan cerdas, maka selamanya pula kita
akan dipimpin oleh pemimpin yang sakit dan bodoh!
Kita semua tau, masyarakat kita bukanlah masyarakat yang berpendidikan
tinggi. Menurut sensus penduduk tahun 2010, rata rata pendidikan rakyat
Indonesia sebanyak 240 juta jiwa itu, hanyalah kelas 2 SMP! Bandingkan dengan rata
rata pendidikan di negara negara maju? Kita ambil satu, Israel. Dengan misi
zionisme, masyrakat Israel mewajibkan warganya untuk kuliah sampai s 1 dan
memang kenyataannya rata rata warga Israel adalah sarjana, kita bisa ambil
buktinya dari berbagai sumber.
Begitupula jepang apalagi amerika. Memang tingkat pendidikan itu
berpengaruh? Ya tentu saja. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh
terhadap cara berbicara, berfikir, dan berperilakunya. Masyarakat Indonesia 86
% adalah pemeluk islam, namun benarkah keislamannya itu? apakah keislaman orang
Indonesia hanya selesai di mesjid dan menjadi bukan islam lagi ketika hidup
ditengah masyarakat? Apakah keislaman orang Indonesia hanya menumpuk di otak
dan menjadi asing dalam tingkah laku? Tengoklah berbagai golongan islam yang
ada di Indonesia, mereka menyempit terkotak kotak dalam beragam pandangan yang
satu sama lain terkadang saling bergesekan. Kenapa wajah keislaman rakyat
Indonesia tidak mewarnai kehidupan duniawinya yang selalu papa sengsara? Tak
boleh tidak, ada yang salah dengan keislaman masyarakat kita sebagaimana slogan
yang sering kita dengar, Islam KTP, Islam abangan, islam kolot bin konservatif,
islam yang memuja muja kuburan,
mengkeramatkan orang, dan begitu anti dan juga curiga terhadap paham asing yang datang dari luar islam padahal kalau mau
mencermati sejarah dahulu peradaban islampun mewarisii kebudayaan yunani dan
persia!
Dengan demikian kita sadar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat
sakit. Sudah tentu masyarakat kita perlu bimbangan, arahan, dan tuntunan.
Mungkin kita dapat membagi masyarakat kita kepada dua tingkatan. Masyarakat
awam dan masyarakat intelek. Masyarakat intelek lebih mengedepankan otak.
Masyarakat awam lebih mengedepankan emosi dan keyakinan. Masyakat kita
mayoritas adalah masyarakat awam terbukti orang banyak berkelahi, bertengkar,
bahkan saling berperang hanya menuruti emosi dan keyakinan, tanpa mengedepankan
akal sehat dan kemaslahatan bersama. sedangkan jumlah masyarakat intelek di
kita hanyalah sedikit saja.
Sudahlah kita berbicara terlalu jauh, pernyatan diatas
mungkin akan menimbulkan banyak perdebatan. Kita kembali ke permasalahan pokok.
Tadi kita sedang membicarakan tentang DPR atau wakil rakyat yang membuat dan
menciptakan undang undang. Sekarang coba
kita tengok lagi masalah pendidikan, di Api Sejarah I lagi lagi Suryanegara
menulis "sekolah sekolah di indoenesia telah dibangun sejak 1818 namun
baru pada tahun 1907 atau 80 tahun setelahnya sekolah untuk pribumi didirikan. Murid
muridnya juga terbatas hanya diutamakan untuk kalangan putra bangsawan. Sekolah
dasar bisa dibagi dua, yakni untuk orang belanda dinamai Europesche Lager
School (ELS) jumlah siswanya 2.500 orang dengan subsidi f. 2.677.000 sedangkan
sekolah untuk orang pribumi dinamai Hollansch Indische School (HIS) jumlah
muridnya 162.000 orang namun hanya disediakan dana f. 1. 399.000!” bayangkan
pada saat itu tidak semua orang bisa masuk sekolah dasar dan mendapatkan
pendidikan. Juga para anak bangsawan yang berhasil masuk sekolah juga mendapat
perlakuan berbeda dibandinga anak anak belanda sendiri. bantuan operasionalnya
sangatlah kecil dibandingkan dengan jumlah siswa yang ada. Maka kita sebagai
pelajar Indonesia jaman sekarang patut bersyukur akan nikmat dan kemudahan yang
kita dapatkan ini! kita semua dengan bebas dapat bersekolah gratis minimal
sampai tamat SMP. Bahkan tak ada halangan bagi kita untuk terus sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi seperti universitas. Banyak beasiswa yang disedikana
pemerintah, asalkan kita mau giat berusaha dan belajar. Umumnya kita sering
mengeluh akan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, padahal sebenarnya
tergantung kita sendiri mampukah kita mencapai kualitas seperti yang
disyaratkan di tiap jenjang pendidikan itu? jikalau kita mencapai kualitas
seperti yang disyaratkan oleh salah satu jenjang pendidikan, maka beasiswa
dengan mudah dapat diraih. Ataupun jikalau memang kita benar benar tak dapat
masuk universitas karena biaya, dijaman
sekarang kita masih dapat pintar tanpa bersekolah! Banyak buku buku bertebaran,
internet, dan lain sebagainya yang akan menunjang pengetahuan kita. Begitupun
kita bebas untuk mengkritik mahalnya pendidikan ini di depan umum, tidak ada
yang melarang dan membatasi. Itulah salah satu anugerah nikmat kemerdekaan yang
kita rasakan saat ini, janganlah kita mengingkari nikmat nikmat itu!
Dari uraian singkat dilihat dari dua bidang kehidupan
diatas yakni politik dan pendidikan kiranya kita bisa menempatkan kata merdeka
itu pada posisi yang tepat bahwa kenyataannya memang kita telah merdeka. Kita
sekarang bebas menentukan nasib kita sendiri, ingin jadi apa, mau melakukan
apapun, dan mau berbicara apapun sekarang dijamin. Tinggal sejauh mana dan
sekuat apa kita berusaha untuk memakmurkan diri kita sendiri dengan cara yang
adil dan dalam jalur yang telah disediakan. Terkadang memang ada kelicikan dan
kecurangan sebagian kalangan yang mengawal jalannya persaingan itu namun itu
hanyalah hal biasa yang harus dihadapi tergantung seberapa kuat kita berusaha
menampilkan kualitas yang sebagus bagusnya sehingga kecurangan itu tak banyak
menghambat perkembangan dan pencapaian kita. Hidup adalah kompetisi dan hidup
adalah persaingan. Di bumi Indonesia ini 240 juta manusia berebut hidup. Kita
tidak bisa seenaknya mengharap hidup yang layak tanpa berusaha dan hanya
berharap kepada tangan pejabat dan penguasa. kita harus menjadi masyarakat yang
cerdas, mau bekerja, berusaha, dan belajar segiat mungkin, jikalau kita telah
menjadi masyarakat yang berkualitas, maka kelak dengan sendirinya kita akan
melahirkan pemimpin yang berkualitas pula.
Perjuangan kita anak bangsa di jaman sekarang sebenarnya sama
dengan perjuangan para founding father kita dahulu. Hanya kita berjuang di
jalur yang berbeda. Jikalau dahulu mereka berjuang dengan peluru, dengan
tombak, dengan darah, keringat, nyawa, bom, dengan berlari lari, dengan
berteriak terik, di lapangan atau di gunung gunung, Maka di jaman sekarang kita berjuang dengan
otak, dengan tulisan, dengan semangat, dengan karya, dengan cara duduk membaca
dan belajar di bangku sekolah atau kuliah, untuk memajukan negeri kita yang
kita cintai ini di lapangan kehidupan modern. Sekarang bukan masanya merebut,
menuntut, dan melawan. Negara dan bangsa telah berdiri. Sekarang adalah masanya
berusaha, bekerja, dan berkarya untuk membangun bangsa sebaik baiknya
dilapangan kehidupan yang damai, sejahtera, dan aman untuk mencapai kemajuan
negara yang sebesar besarnya sehingga akan memajukan pula kehidupan warga
negaranya. Soekarno pernah berucap “Bangsa Yang Para Pemudanya Telah Bersumpah
‘Merdeka Atau Mati’ Pasti Akan Mengalami Hari Kemudian Yang Gilang Gemilang”
maka semangat ini masih dapat kita lekatkan untuk era perjuangan di masa kini. Sekian.
Komentar
Posting Komentar