Menuju Kesempurnaan Ahlak - Prinsip prinsip etika

Tulisan ini ialah rangkuman dari sebuah buku klasik karangan seorang penulis dan sejarawan Abu Ali Ahmad Ibn Miskawaih yang hidup pada 330-431 H/ 941-1030 M yang berjudul Tahdzib Al Akhlaq, yang menurut sebagian ahli filsafat etika jaman sekarang, adalah buku pertama yang membahas tentang filsafat etika islam. Meskipun pemikran dari ibn Miskawaih didasarkan dan dipengaruhi oleh filsafat Aristoles tentang etika, namun beliau  memadukan dan menyempurnakannya dengan nash nash yang diajarkan oleh agama islam.
                Baik kita mulai pembahasan ini dari bab “PRINSIP PRINSIP ETIKA” disini ibn Miskawaih membahas mengenai jiwa. Ibn Miskawaih menulis bahwa segala bentuk di alam semesta ini berdiri sendiri dalam satu bentuk. Sesuatu yang sudah memiliki bentuk, tidak akan mungkin berubah menjadi bentuk yang lain, kalaulah bentuk asalnya tidak hancur atau hilang terlebih dahulu. Ibn Miskawaih mencontohkan, satu buah kursi,  tidak akan dapat berubah bentuk menjadi satu buah meja, kalaulah kursi itu tidak hilang atau musnah terlebih dahulu. Singkatnya, bentuk kursi itu akan berubah menjadi bentuk yang baru yaitu meja, tetapi bentuk sebelumnya pasti tiada atau hilang. Contoh lain, sebuah bentuk lukisan, tidak akan menerima bentuk lain, selain jenisnya yang pertama, kecuali jika benar benar telah berpisah dari jenisnya yang pertama itu. Hal ini, menurutnya, juga sama dengan bentuk dari jiwa atau karakter manusia, atau usaha dalam membentuk akhlak manusia. akhlak buruk, tidak akan mudah dirubah menjadi akhlak yang baik, kalaulah akhlak buruknya masih ada. Tidak mungkin kita mendirikan sebuah bangunan yang megah, mewah, dan bersih diatas lahan yang penuh sampah, kotor, dan bau. Maka untuk membentuk akhlak dan karakter manusia dengan akhlak yang baik, maka menurut Ibn Miskawaih, haruslah dihilangkan terlebih dahulu sifat dan akhlak jeleknya itu, baru setelah itu mengajarkan dan mendirikan bangunan yang bernama akhlak mulia.
                Di bab ini Ibn Miskawaih menjelaskan, sesuatu itu diciptakan menurut tujuannya. Misalnya sebuah pedang diciptakan untuk memotong dan melukai. Untuk memenuhi tujuannya itu, tentu pedang tersebut mesti memiliki ketajaman. Jikalau pedang tersebut sudah tidak memiliki ketajaman lagi, sudah tumpul, maka turunlah derajatnya, turunlah fungsi dari pedang itu dan digunakan untuk tujuan lain. Begitupun seekor kuda, kuda diciptakan menurut tujuannya. Seekor kuda, dianggap sebagai kuda yang hebat, jikalau ia mampu berlari cepat, gesit, dan kuat. Seekor kuda yang tidak mampu berlari cepat, gesit, dan kuat lagi, maka turunlah derajat ‘’kekudaanya’’ itu menjadi keledai misalnya, yang lamban, gemuk, dan lemah. Begitupula manusia, manusia diciptakan menurut tujuannya. Dalam Al Quran misalnya, salah satu tujuan manusia diciptakan ialah untuk beribadah kepada tuhannya. Untuk memenuhi tujuan itu, manusia harus dibekali oleh berbagai pengetahuan dan kecerdasan, juga harus memiliki akhlak yang baik. jikalau manusia sudah tidak memiliki sifat sifat itu, maka turunlah derajat kemanusiaannya, dan ia menjadi melenceng dari tujuan penciptaannya.
                Disini Ibn Miskawaih menegaskan pentingnya pemahaman manusia tentang jiwa. Karena menurutnya, jiwa berbeda dengan badan atau indra. Definisi jiwa menurut Ibn Miskawaih termasuk didalamnya akal. Menurutnya, jiwalah yang akan mampu menilai sesuatu apakah baik atau buruk, apakah benar atau salah, apakah masuk akal atau tidak, dan lain sebagainya. Ketika mata memandang matahari, maka menurut mata, matahari bentuknya kecil. Hanya sebesar kelereng. Begitupun ketika mata memandang pohon di kejauhan, maka pohon itu itu bentuknya sangatlah kecil. Benarkah kesimpulan mata itu? melaui pertimbangan jiwa, pengetahuan mata ternyata itu salah. kenyataanya, matahari tidaklah kecil, dan pohonpun demikian. Maka jiwa dengan akalnya, menyangkal pengetahuan yang disimpulkan oleh mata itu. mata dalam hal ini sebagai alat indra, memberikan sebuah pengetahuan melalui sebuah penglihatan, jikalau tidak diolah oleh jiwa atau akal, maka pengetahuan itu akan menipu.  Jiwa memberikan sebuah alas an yang logis, yakni mata memandang matahari secara kejauhan, maka dari itu matahari terlihat kecil. Itulah jiwa. Penjelasan Miskawaih tentang hal ini, hanyalah untuk menegaskan bahwa benda benda yang bersifat lahiriah, seringkali menipu, maka harus dikaji dengan ilmu pengetahuan dan kebajikan.
                Para filsuf, ketika menjelaskan tentang akhlak yang baik bagi manusia, selalu berorientasi kepada kenikmatan spiritual atau ruhaniah bukan kenikmatan lahiriah atau jasmanisah. Begitupun ibn miskawaih. Menurutya, hakikat dari manusia itu ialah jiwa. Jiwa itu cenderung kepada kebajikan. Dan kebajikan itu dapat diperoleh dengan pengetahuan. Seperti contoh diatas tadi tentang mata dan matahari. Maka menurutnya, keutamaan seseornag dapat diukur dengan sejauh mana dia mengupayakan dan mendambakan kebajikan. Keutamaan ini akan semakin meningkat, ketika ia semakin memperhatikan jiwanya dan berusaha keras menyingkirkan segala yang meritanginya mencapai keutamaanya ini. Diatas telah dikatakan, bahwa salah satu penghalang untuk mencapai keutamaan ini yaitu hal hal yang bersifat indrawi dan badani, dan yang semisal dengannya. Dan keutamaan keutamaan itu tidak akan bisa kita capai, kecuali jiwa itu telah suci dari perbuatan perbuatan keji yang sifatnya badani dan hewani tadi. Perbuatan keji itu adalah nafsu badani yang hina serta nafsu hewani yang tercela. Dalam artian ketika seseorang ingin meraih kesempurnaan yang hakiki, maka terlebih dahulu ia harus membebaskan dirinya dari kenikmatan kenikmatan dunia yang bersifat sementara dan melalaikan. Yang bersifat jasmaniah dan menipu.
                Jika seseorang menganggap bahwa hal hal yang bersifat lahiriah dan badaniah itu ialah suatu keutamaan maka ia tujuan hidupnya akan diarahkan untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan lahiriah dan badaniyah sebesar besarnya. Dan ia akan membiasakannya. Namun kita harus ingat, jika benar demikian, bahwa mendapat kesenangan dan kenikmatan lahiriah sebesar besarnya ialah sebuah keutamaan, tentu hewan adalah mahluk yang lebih utama.  Karena hewan lebih mampu dan lebih banyak menyukainya dibanding manusia.  seperti babi, anjing, hewan air, binatang buas, burung, dan lain sebagainya. Akan tetapi hewan tidak menjadi makhluk yang utama karena memiliki keinginan keinginan itu, karena keinginan keinginan itu adalah keinginan yang hina dan rendah. Maka jikalau manusia menyadari hal ini, lalu ia mengejar keutamaan keutamaan yang hakiki, yang sifatnya spiritual dan bathiniyyah, menjalani hidup dengan sederhana, dalam makan, minum, dan kebutuhan lainnya, maka ia akan membenci keinginan keinginan hewani tadi. Juga akan ampak baginya kerendahan orang orang yang mengejarnya.
                Disini Miskawaih juga berbicara tentang baik dan buruk. Ia mengatakan manusia tidak lepas dari dua factor yakni kebaikan dan keburukan. Jikalau manusia benar benar mengerjakan pekerjaan pekerjaan yang sesuai dengan tujuan ia diciptakan, maka ia akan menuju kepada kebaikan. Maka orang tersebut disebut orang baik atau bahagia. adapun orang yang membiarkan dirinya mengerjakan pekerjaan pekerjaan jelek, maka ia menuju kepada kejelekan. Orang tersebut disebut orang jelek atau sengsara. Ibn Miskawaih mendasarkan kebaikan manusia itu terletak pada fikiran atau proses berfikir.  Menurutnya, dengan menggunakan proses berfikir, manusia dapat menaksir dan menilai apakah perbuatannya itu menuju kepada kebaikan atau kejelekan. Dan inipulalah yang membedakan manusia dengan hewan. Dalam bahasa Miskawaih, manusia memiliki fakultas berfikir.  Maka setiap orang yang pemikirannya tepat dan benar, serta pilihannya lebih baik, berarti kesempurnaan kemanusiaanya lebih besar. Demikian juga dalam memahami bahwa manusia akan mencapai derajat kebahagian yang sesungguhnya dengan melakukan pekerjaan pekerjaan yang sesuai dengan tujuan ia diciptakan, ialah menggunakan fakultas berfikir.
                Diatas dikatakan bahwa untuk mencapai keutamaan keutamaan kemanusiaan, maka manusia harus mencapai hal hal yang bersifat spiritual atau bathiniyyah, dibanding hal hal yang bersifat lahiriah atau jasmaniyyah, lalu apakah  keyakinan tersebut membuat manusia harus meninggalkan seluruh kebutuhan jasmaninya? apakah karena hal tersebut, manusia harus mengorbankan kesenangan duniawinya? apakah keyakinan tersebut membuat manusia harus hidup menjauh dari dunia? Ternyata, meskipun pertanyaan pertanyaan itu selintas memang jawabannya ya, tetapi ternyata dalam pembahasannya selanjutnya itu tidak tepat! Mengejar keutamaan keutamaan kemanusiaan dengan mengejar hal yang bersifat spiritual dan bathinyyah bukan berarti mengorbankan dan meninggalkan kebutuhan jasmaniyah. Begitu penjelasan Ibn Miskawaih. Lalu lantas kenapa bisa begitu? Alasannya akan penulis kupas dalam tulisan selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman tes di Bank BRI

Tentang Organisasi: Sebuah Refleksi

Pengalaman Tes SKB CPNS Kemenkumham 2019