Tersisihnya Profesi Ilmu Sosial Humaniora di MEA

Tahun 2016 adalah tahun pertama dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa disingkat MEA (ASEAN Economics Community) yang merupakan sebuah kebijakan pasar bebas yang diterapkan oleh seluruh negara yang berada di Kawasan Asia Tenggara. Tujuan MEA pada awalnya ialah untuk meningkatkan perekonomian di Asia Tenggara dan mengundang investasi dari luar kawasan, diharapkan negara negara ASEAN mampu bersaing dengan perekonomian global terutama dengan negara negara seperti Cina dan India yang mulai memperluas pasar produk produk dalam negerinya. Salah satu fokus kebijakan MEA yakni negara negara di kawasan Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah dengan kesatuan pasar dan basis produksi. Hal tersebut akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar, dan skill labour menjadi tak memiliki hambatan dari satu negara ke negara lainnya di Asia Tenggara. Ada delapan profesi yang terkena kebijakan pasar bebas yang tertuang dalam ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA). Masing masing profesi tersebut telah menetapkan standard dan kompetensi yang diperlukan di kancah ASEAN. Nantinya Indonesia akan menerima lowongan untuk profesi profesi ini, begitu juga sebaliknya. Namun yang menarik sebagian besar profesi yang telah ditetapkan tersebut ialah profesi dari basik keilmuan teknik dan eksak hanya sedikit dari keilmuan social humaniora yakni Insinyur, Arsitek, Tenaga Pariwisata, Akuntan, Dokter Gigi, Tenaga Survei (bukan tenaga survey masyarakat, melainkan survey pengukuran tanah dan darat), Praktisi Medis, dan Perawat. Sebagian besar profesi yang ditetapkan dalam MEA ialah profesi dalam sektor ekonomi dan jasa. Jika kita perhatikan hampir seluruhnya memiliki orientasi ekonomi tanpa ada sektor yang juga penting dan dibutuhkan masyarakat ASEAN khususnya Indonesia, seperti misalnya sector pendidikan. Padahal sector ini sangat penting perannya dalam meningkatkan wawasan dan keterampilan masyarakat. Profesi guru tidak masuk dalam profesi yang diatur dalam MEA. Selanjutnya, penulis merasa prihatin dengan tidak adanya profesi yang berkaitan dengan basic keilmuan social humaniora seperti sosiologi, politik, antropologi, bahasa, sastra, dsb. Seolah olah arah pembangunan di Asia Tenggara hanya berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek pembangunan sosial masyarakat. Beberapa profesi ilmu social dan humaniora yang penting yang dapat meningkatkan pembangunan social masyarakat diantaranya ialah peneliti dan pemberdaya masyarakat, guru dan dosen ilmu sosial humaniora, dan antropolog. MEA membuat seolah olah masyarakat disingkirkan dari profesi sosial dan humaniora sehingga profesi itu menjadi tersisihkan. Profesi peneliti dan pemberdaya masyarakat menurut penulis sangat penting karena akan ikut membantu pemerintah dalam pembuatan kebijakan public atau setidak tidaknya dapat membantu mencari dan menemukan akan permasalahan dalam setiap permasalahan yang ada di masyarakat ASEAN yang dapat dipublikasikan melalui buku, jurnal, laporan, dan lain sebagainya. Profesi peneliti dan pemberdaya masyarakat ini misalnya dapat bekerja di lembaga lembaga sosial masyarakat baik dinas maupun LSM serta di institute penelitian sosial. Jika profesi ini dikembangkan di ASEAN bukan tidak mungkin akan melahirkan para pemikir dan ilmuwan sosial yang kritis dan handal serta mempercepat pembangunan sosial di ASEAN. Begitupun profesi ilmu sosial lain menurut penulis juga sama pentingnya. Disisi lain focus profesi yang telah ditetapkan dalam MEA diatas akan menimbulkan berbagai macam konsekuensi bagi Indonesia seperti misalnya profesi dokter gigi dan tenaga medis. Di Indonesia sudah umum diketahui bahwa biaya kuliah kedokteran sangat mahal dan sulit dijangkau masyarakat otomatis jumlah dokter gigi dan tenaga medis di Indonesia sedikit, meskipun demikian dengan jumlah penduduk Indonesia sangat banyak itu masyarakat membutuhkan jumlah dokter dan tenaga medis yang banyak pula, hal ini akan menjadi peluang besar bagi dokter dokter dan tenaga medis dari negara lain untuk bekerja di Indonesia. Begitupa profesi profesi yang lainnya. Bahasa dianggap sebagai salah satu factor penting yang harus dikuasai masyarakat dalam menghadapi MEA khususnya bahasa Inggris, namun apakah peningkatan kualitas berbahasa masuk kedalam profesi yang menjadi focus MEA? Ternyata tidak. Profesi guru bahasa tidak masuk kedalam focus MEA. Memang, profesi lain yang tidak masuk kedalam profesi yang menjadi focus MEA dapat berjalan dengan sendirinya, namun tidak akan ada standarisasi dan kompetensi yang ditetapkan bersama seperti halnya profesi yang menjadi focus MEA sehingga keberlangsungan dan kualitas dari profesi tersebut menjadi tidak maksimal dan tidak merata. Ada banyak aspek yang harus dibangun oleh sebuah masyarakat untuk menuju taraf hidup yang lebih baik, aspek ekonomi adalah salah satu aspek penting, namun masih ada juga aspek sosial, hukum, pendidikan seni dan sastra yang tak kalah pentingnya yang dibutuhkan masyarakat dan semua aspek itu harus terbangun dan berjalan beriringan. Terakhir, untuk menjadi renungan bersama, MEA tidak lain ialah sebuah sistem pasar bebas atau free market yang sangat berorientasi ekonomis dan berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan capital atau modal. System ini sama saja berasumsi Trickle Down Effect yakni peningkatan ekonomi beberapa orang akan mempengaruhi peningkatan ekonomi orang lain di bawahnya. Di Indonesia secara umum para pejabat dan pemimpin politik juga memiliki perusahaan perusahaan swasta (atau setidak tidaknya kerabat dan keluarganya) dengan berbagai komoditas. Saat ini setidaknya ada 15 menteri kabinet yang merupakan direktur atau mantan direktur, komisaris, atau pemilik sejumlah usaha, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri adalah pemilik berbagai perusahaan besar di wilayah Indonesia timur. Data yang dihimpun oleh Litbang Kompas, 135 orang dari 560 orang anggota DPR juga merupakan direktur, atau mantan direktur sebuah perusahaan. Jika MEA membuat ekspor komoditi komoditi perusahaan di Indonesia meningkat maka yang akan sangat diuntungkan ialah para pengusaha dan pemilik modal tersebut, yang diantaranya ialah para politikus dan pejabat publik di atas. Bagaimana sobat Kompasiana, apakah punya pendapat lain? Sekian.

Achazia
Mahasiswa Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman


http://www.kompasiana.com/achazia/tersisihnya-profesi-ilmu-sosial-humaniora-di-mea_56c0b7345593730a05543b79

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman tes di Bank BRI

Tentang Organisasi: Sebuah Refleksi

Pengalaman Tes SKB CPNS Kemenkumham 2019