Praktek Neoliberalisme Pendidikan Tinggi Di Indonesia Setelah 71 Tahun Merdeka


                Hari kemarin tepatnya tanggal 17 agustus 2016 seluruh masyarakat Indonesia memperingati hari kemerdekaan atau “freedom day” yang diperingati dengan sukacita. Di beberapa tempat, seperti sudah menjadi tradisi, acara peringatan diisi oleh berbagai macam perlombaan rakyat baik untuk anak anak, remaja, maupun orang tua. Sementara, di kantor kantor pemerintahan, pada pagi harinya dilaksanakan upacara pengangkatan bendera sang merah putih. Kemerdekaan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri oleh siapapun, terlebih kemerdekaan bangsa indonesia tidak diraih dengan mudah, melainkan dengan perjuangan panjang yang melelahkan, yang digapai melalui revolusi berdarah yang mengorbankan keringat, air mata, dan darah. Maka kemerdekaan ini merupakan suatu hal yang sangat patut untuk disyukuri.
                Meskipun kita mensyukuri kemerdekaan ini, bukan berarti kita lupa akan segudang permasalahan yang mendera bangsa ini. Segenap daya dan upaya harus tetap kita usahakan untuk menjadikan kehidupan masyarakat indonesia saat ini lebih baik. Tak lupa pula, selain menjadikan diri sendiri sebagai warga negara maupun warga dunia yang baik, kita juga wajib untuk mengingatkan dan mengawal setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Pada tulisan inni, penulis mencoba untuk sedikit membahas mengenai permasalahan pendidikan di indonesia khususnya pedidikan tinggi yang terjebak pada praktek neoliberalisme yang telah mencengkram bangsa indonesia, dan umumnya negara negara dunia ketiga.
Desentralisasi pendidikan
                Membahas mengenai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan tinggi maka mau tidak mau kita harus membedah undang undang yang menaunginya. Perubahan kebijakan bagi pendidikan tinggi juga tak dapat dilepaskan dari proses reformasi yang terjadi pada 1998 oleh ketika Indonesia diterpa oleh krisis. Selain karena tuntutan dari pihak asing yang meghendaki subsidi untuk pendidikan dikurangi demi alasan efektifitas dan efisiensi anggaran negara, terdapat juga tuntutan dari masyarakat yang menghendaki adanya desentralisasi pemerintahan. Hal tersebut diimplementasikan dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Dalam undang undang tersebut mengatur beberapa kewenangan pemerintah pusat yang didelegasikan kepada daerah, dan salah satu kewenangan yang didelegasikan ialah dalam bidang pendidikan. Harapannya, pendidikan yang sebelumnya banyak berpihak pada kepentingan pemerintah pusat, sekarang dapat diarahkan untuk kepentingan pemerintah daerah. Selanjutnya, kebijakan tersebut dipertegas melalui kelahiran UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20 Tahun 2003 yang mengetur mengenai otonomi pendidikan tinggi.
                Dengan kebijakan otonomi tersebut, pendidikan yang sebelumnya diatur oleh pemerintah pusat kini diatur oleh pemerintah daerah, baik kabupaten maupun kota. Praktek kebijakan sentralisasi pendidikan yang sebelumnya berlaku telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia manusia indonesia yang tanpa inisiatif. Wewenang yang lebih besar yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah derah akan membuat pemerintah daerah memberikan kewenangan pengelolaan dan pembangunan pendidikan pada lembaga lembaga pendidikan yang ada didaerahnya. Otonomi tersebut mencangkup bidang akademik maupun non akademik.
Desentralisasi ke komersialisasi
                Pada jenjang pendidikan tinggi, terjadi perubahan status perguruan tinggi yang pada awalnya berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dikelola pemerintah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). PTN BH ini menjadikan PTN sebagai subjek hukum yang otonom yang mampu mengelola dana kekayaan sendiri. Perubahan status ini diterapkan pada PTN PTN ternama seperti UI, UGM, IPB, UNAIR, USU, dan lain lain. Selain PTN BH, pada PTN lain yang dianggap belum memenuhi syarat untuk layak menjadi PTN BH, statusnya berubah dari PTN menjadi PTN BLU (Badan Layanan Umum) yang diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha melai unit unit usaha yang dimiliki oleh perguruan tinggi.
                Meskipun begitu, yang patut disoroti ialah, ketika sebelum reformasi biaya pendidikan tinggi disubsidi oleh pemerintah (75 % pemerintah pusat dan 25 % dari mahasiswa/ masyarakat) yang menyebabkan biaya kuliah murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan, kini ketika otonomi perguruan tinggi ditetapkan pemerintah seolah berlepas tangan dalam pembiayaan pendidikan. Perguruan tinggi dituntut untuk mandiri mencari dana sendiri dan diutamakan diluar dana dari mahasiswa. Namun, kenyataannya kini, perguruan tinggi tetap menjadikan dana dari mahasiswa menjadi salah satu sumber pendapatan dana utama selain dari unit usaha dan kerjasama, dengan menaikan biaya kuliah setiap tahun, dan pungutan uang pangkal.
Ketika UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) no 9 tahun 2009 yang berisi mengenai otonomi pendidikan pada semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dibatalkan oleh MK pada 2009 lalu karena memberikan kesempatan kepada lembaga pendidikan untuk memungut uang sebesar besarnya dari peserta didik yang mengakibatkan pendidikan menjadi sulit diakses oleh masyarakat kalangan miskin sehingga bertentangan dengan UUD 1945, maka pada tahun 2012 muncul UU Pendidikan Tinggi no 12 tahun 2012 yang didalamnya juga berisi mengenai otonomi pendidikan tinggi yang secara substansi tidak jauh berbeda dengan UU BHP yang dibatalkan tersebut.
Dalam UU PT terdapat pasal 84 ayat 1 berbunyi ”masyarakat dapat berperan serta dalam pendanaan pendidikan tinggi”. Pasal ini selanjutnya menjadi dasar dari kelahiran Permendikbud no 55 tahun 2013 yang mengatur mengenai UKT dan BKT. Menurut penulis, sistim UKT merupakan cara dari pemerintah untuk meredam protes dari masyarakat mengenai mahalnya biaya pendidikantinggi  yang dilandasi oleh UU PT tersebut karena sistim UKT seolah olah memberikan kesempatan pendidikan bagi semua kalangan. Karena sistem UKT biaya yang ditanggung mahasiswa disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarganya. Selain itu dalam UU PT terdapat kebijakan 20 % beasiswa bagi mahasiswa yang mampu secara akademik tetapi kurang mampu secara ekonomi.
                Meskipun begitu, pada kenyataannya pemerintah tidak konsisten karena anggaran untuk pendidikan tidak mengalami kenaikan yang signifikan sehingga pendidikan saat ini mengarah pada komersialisasi. Pengertian komersialisasi jika kita merujuk pada kamus berarti perdagangan atau sesuatu yang menghasilkan keuntungan. Artinya komersialisasi pendidikan berarti pendidikan yang didagangkan. Komersialisasi pendidikan juga sangat berkaitan dengan privatisasi pendidikan. Privatisasi berarti kepemilikan pribadi. Privatisasi juga dapat merujuk pada hak milik individu. Artinya, sesuatu yang sebelumnya milik bersama menjadi milik individu. Jika kita terapkan pada konteks privatisasi pendidikan, berarti seseorang harus membeli pendidikan, karena pendidikan menjadi barang milik individu bukan barang milik publik, pendidikan menjadi komoditas. Artinya, peserta didik harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membeli pendidikan. Demikian pula lembaga pendidikan menjual pendidikannya untuk meraup banyak keuntungan.
                Bukankah jika keuntungannya digunakan untuk pengembangan lembaga pendidikan, baik sarana, maupun prasarana, hal itu justru positif?  Memang sepintas benar adanya, akan tetapi jika ditelusuri hal tersebut berdampak negatif bagi masyarakat kurang mampu. Jika perguruan tinggi dalam pembangunan pendidikannya mengandalkan uang dari mashasiswa sebesar besarnya dengan mematok biaya yang mahal, kualitas pendidikan yang bagus yang akan tercipta menjadi percuma, karena tidak dapat dinikmati oleh masyarakat kelas bawah yang tak punya biaya untuk mengaksesnya. Sekalipun ada beasiswa misalnya 20 %, tetap proporsinya pincang, jika 80 % lainnya ialah orang orang yang kaya dan mampu. Apalagi, jika perguruan tinggi tersebut berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Menurut hemat penulis, jika biaya mahal tersebut dipatok oleh perguruan tinggi swasta, dan biaya mahal tersebut sebanding dengan kualitas dan layanan pendidikan yang diberikan, hal tersebut sah sah saja, karena kita tidak memungkiri sebagian masyarakat kita yang mampu secara ekonomi dan ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Daripada ia menyekolahkan anaknya ke luar negeri, lebih baik di dalam negeri. Namun, biaya yang mahal tersebut menjadi haram hukumnya, jika diterapkan pada perguruan tinggi negeri yang, sebagaimana namanya, milik negara, milik rakyat indonesia, ditujukan untuk mengangkat taraf kehidupan rakyat indonesia menuju kondisi yang lebih baik. Maka dari itu perguruan tinggi negeri harus dapat diakses oleh semua kalangan, khususnya masyarakat kalangan miskin, untuk mengangkat kondisi mereka ke arah yang lebih baik. Idealnya, menurut penulis, proporsi bagi mahasiswa yang potensial tetapi kurang mampu secara ekonomi ditambah menjadi 50 % sehingga proporsi yang mampu dan kurang mampu menjadi seimbang.
Pendidikan dan neoliberalisme               
Jika kita merujuk pada teori Marx tentang syarat produksi, maka neoliberalisme merupakan syarat bagi berkembangnya kapitalisme. Kapital atau modal akan terkonsentrasi pada sektor sektor yang menjanjikan keuntungan besar di masa depan. Saat ini pendidikan dianggap sebagai sektor yang menjanjikan untuk meraup keuntungan. Mengapa demikian?
                Sebagai negara berkembang, indonesia masih akan terus melakukan pembangunan pembangunan, salah satunya di bidang pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Dengan dibukanya UU PMA tahun 1967 membuat industri manufaktur indonesia berkembang pesat dan melahirkan produk barang maupun jasa yang membutuhkan pasar baru. Pendidikan dianggap sebagai pasar yang potensial karena kegiatan pendidikan memiliki banyak kebutuhan. Namun, kebutuhan tersebut tidak dibiayai oleh negara, tetapi oleh masyarakat, karena negara sendiri tidak mampu untuk membiayainya. Untuk kelancaran sirkulasi kapital atau modal, negarapun dituntut untuk melonggarkan berbagai macam regulasi  sehingga memberikan kemudahan bagi para pemodal untuk menanamkan uangnya di berbagai sektor usaha, baik modal dalam negeri maupun modal asing.  
                Ketidakmampuan negara dalam membiayai pendidikan juga diakibatkan oleh watak neoliberalisme yang menjadikan negara tak mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri untuk kepentingan masyarakat. Dengan neoliberalisme, negara menyerahkan pengelolaan berbagai sumber daya alam dan unit usaha kepada swasta. Padahal keuntungan yang didapat oleh swasta ialah untuk miliknya sendiri, sedangkan jika dikelola oleh negara, keuntungan akan menjadi milik negara dan dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat, termasuk membiayai pendidikan.
71 tahun kemerdekaan saatnya bekaca diri
                Sebagaimana penulis tuturkan diatas, kemerdekaan memang sangat patut untuk disyukuri. Kita juga tidak memungkiri jika kondisi Indonesia masih lebih baik jika di bandingkan dengan negara negara lain yang dibawah indonesia. Namun jangan membuat kita lupa akan segudang permasalahan yang masih mendera bangsa ini. Salah satu permasalahan yang masih akut dialami oleh bangsa indonesia ialah masalah kemiskinan. Mengutip data BPS tahun 2016 jumlah orang miskin di indonesia sebanyak 28,6 juta orang (hampir setara dengan jumlah seluruh masyarakat malaysia, 30,3 juta orang) dari total 240 juta rakyat indonesia dan untuk jumlah pengangguran sebanyak 6,7 juta orang. Itu menggunakan data BPS, jika menggunakan data World Bank, jumlah orang miskin di indonesia hampir 50 juta orang. Juga data dari World Bank, untuk pendapatan perkapita, Indonesia berada pada peringkat 118 dunia, dibawah Singapura (9), Brunei (25), Malaysia (66), dan Thailand (92). Untuk rasio gini indonesia pada september 2015 adalah sebesar 0,40 artinya ketimpangan pendapatan diantara penduduknya masih cukup tinggi.
                Pendidikan tentu diharapkan mampu untuk melepaskan rakyat indonesia dari jerat kemiskinan maupun ketimpangan pendapatan tersebut. Bukan hanya sekedar melepaskan dari jerat kemiskinan ekonomi, melainkan kemiskinan sosial, budaya, dan hukum juga. Karena, pendidikan bukan hanya mengajarkan orang untuk terampil bekerja dan berusaha, melainkan mendidik seseorang untuk menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan akan membuat orang sadar akan hak haknya sebagai manusia untuk lepas dari eksploitasi dan penindasan pihak lain yang merugikannya. Pendidikan adalah jalan untuk menuju tingkat peradaban yang tinggi yang akan dicapai oleh sebuah bangsa. Namun apakah pendidikan dalam cengkraman neoliberalisme akan mampu untuk mewujudkannya?


Amir

Mensospol BEM FISIP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman tes di Bank BRI

Tentang Organisasi: Sebuah Refleksi

Pengalaman Tes SKB CPNS Kemenkumham 2019