Panggung Politik Merah Putih menuju Indonesia Hebat


Oleh Lutfi Ramdani

    Pemikir politik asal Prancis, Charles Louis de Montesquieu dalam bukunya L’Espirit des Lois (The Spirit Of Laws) menulis bahwa orang yang memegang kekuasaan cenderung akan menyalahgunakannya, dan ini merupakan kebenaran abadi, sampai batas mengijinkan. Maka kekuasaan tersebut harus dibatasi diantaranya dengan cara membagi kekuasaan ke dalam beberapa orang. Konsep ini dikenal dengan konsep pemisahan kekuasaan.
    Seperti kita ketahui, Indonesia saat ini sedang memasuki periode baru dibawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang memenangkan pemilu presiden 2014. Jokowi JK telah bertugas sejak 1 oktober lalu, begitupula anggota DPR yang mulai menjalankan aktivitasnya yakni menjalankan siding siding pariurna. Namun diawal masa pemerintahan ini, masyarakat dipertontonkan pada kisruh yang ada di DPR antara dua koalisi pemerintahan yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Kisruh tersebut bermula sejak hari pertama mereka mengadakan siding pada 1 oktober 2014 ketika pemilihan pimpinan DPR. Siding tersebut berjalan sangat tidak kondusif bahkan salah satu anggota siding ada yang sampai naik ke meja pimpinan siding. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pembahasan dan pengesahan UU MD3 yang tidak disetujui oleh KIH.
    Kisruh tersebut berlanjut pada terpecahnya DPR kedalam dua kubu atau diistilahkan dengan DPR tandingan. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan KIH atas monopoli kepemimpinan komisi DPR yang dipegang oleh KMP. Dari 11 komisi DPR, 9 diantaranya menetapkan politisi KMP sebagai pimpinan komisi. Hal inilah yang membuat Pramono Anung mengangkat dirinya sebagai ketua DPR tandingan. Ia juga kecewa dengan pengangkatan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang juga dimonopoli oleh KMP. Pada awalnya, dari 47 kursi pimpinan AKD, KIH meminta 16 kursi pimpinan, namun hanya dikasih 6 kursi.
    Kisruh yang terjadi ini telah terlihat ketika pembahasan UU MD3 yang salah satu isinya berbunyi bahwa pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR bukan oleh partai pemenang pemilu. PDIP dalam hal ini mengaku sangat keberatan karena mereka sebagai pemenang suara terbanyak merasa yakin tidak akan mendapat kursi sebagai pimpinan DPR jika UU MD3 ini disahkan. Keberatan tersebut sampai diajukan ke MK namun akhirnya ditolak.  KMP memang menguasai DPR dengan 6 koalisi partai politik dibandingkan dengan KIH yang hanya 4 partai politik. KIH hanya memiliki 207 kursi atau 37 % sedangkan KMPmemiliki 353 kursi atau 63%.
    Pengesahan UU MD3 memang seringkai berjalan alot, bahkan menurut kompas, ada beberapa kepentingan politik dibalik UUD MD3 diantaranya yaitu : 1) mengubah tata cara pemilihan pimpinan DPR 2) melihat relasi antar partai politik dan anggota DPR selama ini dan 3) menguasai pimpinan jadi jalan pintas untuk menguasai DPR. Dalam pemilihan ketua dan wakil ketua AKD ini misalnya, terlihat persaingan yang sangat keras. Meskipun, menurut penelusuan kompas juga,  tunjangan gaji ketua dan wakil ketua hanya berkisar rp 1-2 juta saja, bandingkan dengan gaji rutin anggota DPR yang berkisar 60 juta perbulan. Namun karena posisi pimpinan dan wakil pimpinan AKD ini sangat strategis dan krusial menyebabkan masing masing koalisi sangat gesit berebut kursi pimpinan AKD. Sehingga ada pameo yang berbunyi bahwa pimpinan AKD akan menentukan “siapa yng dianggil, siapa yang dibagi, dan pasal siapa yang dilindungi”.  Hal ini sesuai dengan fungsi DPR menurut UUD 45 yaitu Pengawasan (siapa yang dipanggil), anggaran (siapa yang dibagi), dan legislasi (pasal siapa yang dilindungi). Pameo ini merupakan sindiran pedas terhadap realita kepentingan politik di DPR.
    Pemerintahan Jokowi JK memang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Direktut Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan bahwa posisi jokowi saat ini terjepit. Disamping harus menghadapi oposisi yakni KMP, jokowi juga harus menjaga keutuhan dan kesolidan koalisinya sendiri. Beberapa pihak mulai menyuarakan adanya konflik di tengah KIH, terutama ketika Jokowi memilih H.M Prasetyo, yang merupakan politisi Nasdem, sebagai Hakim Agung. Hal ini menyebabkan kekecewaan dari PDIP maupun PKB sendiri. Artinya, Jokowi sebisa mungkin harus menjaga keutuhan dan kesolidan koalisinya sendiri.
    Lemahnya koalisi Jokowi dimasa pemerintahannya, menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, adalah akibat dari kebijakan koalisi jokowi sewaktu kompanye yaitu “koalisi ramping tanpa syarat”.  Jokowi menganggap ia tidak membutuhkan banyak partai untuk berkoalisi sehingga beberapa partai “gagal” bergabung dengan PDIP diantaranya golkar dan democrat. Hal ini menyebabkan koalisi Jokowi kalah di DPR.   Disatu sisi ia menguasai eksekutif tapi disisi lain koalisinya justru menjadi oposisi di legislatif. Kekalahan kekalahan KIH sampai saat ini terlihat dianataranya: 1) revisi UU MD3 2) kalah voting RUU pilkada 3) gugatan UU MD3 yang ditolak dan 4) pemilihan dilakukan dengan sistem paket pimpinan DPR dan MPR. Meskipun kisruh DPR saat ini berakhir pada 15 oktober lalu namun, KMP masih dominan dan menguasai DPR. KIH hanya mendapat 5 pimpinan dan 16 wakil pimpinan AKD sisanya dipegang KMP.
    Situasi politik saat ini memang bisa dikatakan sedang memanas. Terlebih ketika munas salah satu partai besar, yakni golkar dianggap diintervensi oleh pemerintah. Golkar yang merupakan bagian dari KMP sangat berperan besar di DPR. Pemerintah dianggap akan menjegal terpilihnya kembali Abu Rizal Bakrie sebagai ketua umum Golkar karena ARB hanya akan menjadikan golkar tetap bertahan di KMP. Jika ARB tidak terpilih kembali diharapkan partai golkar akan pecah mereka akan bergabung dengan KIH. Wasekjen Golkar, Ace Hasan Syadzili menganggap apa yang terjadi saat ini adalah dinamika demokrasi yang mengecewakan. Munas golkar sendiri masih berlangsung hingga saat ini.
    Adanya konsep pembagian kekuasaan, seperti yang dikatakan oleh Montesquieo diatas, pada hakikatnya hanyalah usaha untuk membatasi kekuasaan raja atau presiden supaya tidak bertindak sewenang wenang. Maka dalam hal ini hendaknya masing masing pihak, khususnya eksekutif dan legislative, harus berjalan beriringan bahu membahu bekerja sama untuk menjalankan pemerintahan dengan baik, bukannya malah saling menjegal dan mendominasi satu sama lain. 230 juta rakyat Indonesia menunggu kinerja mereka. Segudang masalah bangsa menumpuk di depan mata. Kisruh di DPR harus segera di akhiri dan masing masing partai politik harus menjadikan tujuan berdirinya Negara sebagai tujuan bersama, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Karena rakyat hanya bisa menunggu, seperti kata pepatah “Panggung politik akan selalu ada, dan orang orang akan selalu meramaikannya, ceritanya terkadang membosankan, terkadang menyenangkan, terkadang baik, terkadang buruk, aktivitasnya terkadang menguntungkan, terkadang merugikan, pengaruhnya terkadang menguasai segalanya, terkadang segalanya menguasainya, dan apapun itu, kami hanya berharap yang terbaik”
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman tes di Bank BRI

Tentang Organisasi: Sebuah Refleksi

Pengalaman Tes SKB CPNS Kemenkumham 2019