Tentang Keadilan dan Hukum dalam konsep Aristoteles
Indonesia ialah negara hukum.
Hukum ditegakan untuk mencapai keadilan. Keadilan adalah persamaan. Dan pemerintah bertugas sebagai penegak hukum
untuk menciptakan demaian dan ketentraman di tengah ditengah masyarakat. Namun
dalam pelaksanaannya seringkali hukum di Indonesia tidak ditegakan. Atau
putusan hukuman sering kali tidak adil. Sekarang mari kita belajar konsep hukum
dan keadilan dari filsuf terbesar bangsa yunani, Aristoteles.
Hukum diciptakan untuk menegakan
keadilan. Dan menurutnya, keadilan ialah sumber seluruh kebajikan. Keadilan
ialah persamaa. Keadilan ialah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan
adalah penyamarataan. Keadilan adalah titik tengah antara tidak memberi dan
terlalu banyak memberi. Lawan keadilan ialah kelaliman. Dan kelaliman merupakan
seluruh keburukan. Menurut Aristoteles, ada tiga sumber hukum. Hukum yang pertama
terletak disisi Tuhan. Atau menurut para
filsuf muslim pengagum Aristoteles, yang dimaksud Tuhan oleh Aristoteles ialah
Allah SWT. Sumber hukum yang kedua ialah hakim, dan hakim pun berhukum atas
dasar hukum dari Allah SWT. Hakim hanya mengikuti hukum agama dan kemudian
meniru yang sejenis dengannya. Dan hukum yang ketiga ialah uang. Uang itu
menyamakan hal hal yang bermacam macam. Dengan uang terjadi transaksi antara
seorang pedagang makanan dengan orang yang lapar. Seorang petani dengan tukang kayu.
Uang inilah yang menyamakan hal hal yang bermacam macam, hingga tercapailah
keseimbangan diantara hal hal itu. inilah yang menurutnya disebut keadilan
social, dengan keadilan social, negara makmur, dengan kekisruhan social, negara
hancur.
Tak ada yang mencegah tenaga yang sedikit menjadi tenaga
yang banyak dikarenakan ada perbedaan kualitas. Misalnya, seorang insinyur
melakukan sedikit pengawasan dan tenaga, dan kerjanya ini sama dengan tenaga
yang banyak dari para karyawan yang bekerja di bawah pengawasannya melaksanakan
rancangannya. Begitupun seorang panglima perang. Manajemen dan pengawasannya
sedikit, tetapi kerjanya sama dengan kerja keras yang dilakukan prajurit
prajurit bawahannya. Persamaan ini terjadi sebagai perbandingan kualitas
diantara keduanya. Dan menurutnya, itulah keadilan, orang yang hendak
menghapuskan persamaan ini, ialah orang yang lalim.
Menurutnya, orang yang lalim itu
ada tiga. Pertama, orang yang paling lalim. Yaitu yang sama sekali tidak
menerima dan tidak mengindahkan hukum syariah. Yang kedua, orang yang tidak mau
menerima keputusan hakim yang adil dalam segala urusannya. Yang ketiga, orang
yang tidak mau bekerja, tetapi berambisi mengeruk harta sebanyak
banyaknya. Ia melanjutkan, orang yang
berpegang teguh kepada hukum syariah, akan senantiasa bertindak berdasarkan
persamaan diatas. Dia memperoleh kebaikan dan kebahagiaan lewat berbagai cara
yang adil. Karena syariah menganjurkan kepada hal hal yang terpuji, lantaran
syariah itu datangnaya dari Allah azza wa jalla. Syariat juga melarang hal hal
yang rendah. Ia memerintahkan keberanian, menjaga ketertiban, tegar berjuang,
dan kesederhanaan. Ia melarang omongan cabul, berdusta, mencerca, dan memaki.
Seorang yang adil, akan selalu menerapkan keadilan kepada dirinya sendiri, juga
kepada orang lain. Seorang yang lalim, akan senantiasa melakukan kelaliman
terhadap dirinya, kerabat, dan masyarakatnya. Hukum diciptakan untuk menegakan
keadilan. Dan menurutnya, keadilan ialah sumber seluruh kebajikan. Lawan
keadilan ialah kelaliman. Dan kelaliman merupakan seluruh keburukan. Beberapa kelaliman terlihat dan dilakukan
dengan sengaja, seperti yang berlangsung dalam jual beli dan pinjaman. Beberapa
tersembunyi dan dilakukan dengan sengaja, seperti mencuri, memanipulasi,
menipu, dan memberikan kesaksian palsu.
Ada juga yang berupa menindas demi berkuasa.
Salah satu penegak keadilan
ialah pemimpin. Disini ia berperan sebagai hakim. Ia menghapuskan segala bentuk
penindasan dan berdiri dibelakang orang yang memegang syariat agama, dalam
rangka melestarikan persamaan. Seorang pemimpin, menurutnya akan berhadapan
dengan banyak persoalan dalam rangka menegakan keadilan. Mari kita akan kupas
bersama sama.
Penyebab kejahatan, menurut
Aristoteles, yang pertama ialah karena hawa nafsu yang menyebabkan kehinaan.
Yang kedua, karena perangai jahat yang menyebabkan kelaliman, ketiga, kesalahan
yang menyebabkan kesedihan, keempat, nasib buruk yang menyebabkan kecemasan
yang meliputi penghinaan dan kesedihan. Seorang pemimpin yang bijak dan hendak
menegakan keadilan, harus memperhatikan dengan cermat jenis kejahatan dan
penyebab kejahatan kejahatan itu supaya ia tidak tertipu dengan putusan yang
tidak adil.
Penyebab kejahatan yang pertama
ialah hawa nafsu. Ini merupakan factor yang membuat seseorang merugikan orang
lain, meskipun dia tidak menyukai kerugian itu, namun kekuatan hawa nafsu
memaksanya untuk melakukannya. Misalnya, seorang pejabat atau penguasa, yang
menindas rakyatnya untuk mempertahankan kekuasaanya. Atau seorang raja yang
membunuh saudaranya, untuk melanggengkan kekuasaanya. Contoh ini terjadi pada
kerajaan kerajaan kita jaman dahulu. Atau seorang anak yang membunuh saudaranya
demi mendapatkan harta warisan yang banyak. Atau seorang pejabat yang mencuri
uang rakyat, padahal dia telah berkecukupan dan berpenghasilan yang layak,
dalam artian ia telah memiliki harta dan hidup mewah. Namun karena dorongan
hawa nafsunya, ia terdorong untuk mencuri uang rakyat atau korupsi, dan semakin
memperkaya dirinya dan keluarganya. Orang semacam ini, perlu dihukum setimpal
dan seberat beratnya.
Penyebab kejahatan yang kedua,
ialah karena perangai jahat. Ia melakukan itu karena ia menyukainya, ia sengaja
membuat kerugian bagi orang lain, karena ia menyukainya, dan bersenang senang
diatas penderitaan orang tersebut. Ini terjadi dikarenakan kebencian atau
dendam. Misalnya, ada seseorang yang datang menghadap raja, dengan maksud
menjelek jelekan orang lain dihadapannya. Meskipun tindakannya ini tidak
menguntungkan apa apa bagi dirinya, hal ini ia lakukan semata mata karena ingin
melihat penderitaan orang yang dibencinya itu. orang seperti inipun patut
dihukum dengan hukuman yang cukup berat. Meskipun tidak seberat hukuman bagi
kejahatan yang pertama diatas.
Kemudian penyebab kejahatan yang
ketiga, menurut Aristoteles, ialah karena kesalahan yang menyebabkan kesedihan.
Menurutnya, orang semacam ini tidak patut dihukum. Karena pelakunya tidak
bermaksud merugikan orang lain, juga tidak menghendakinya, atau menyukainya.
Yang dituju sebenarnya hanya perbuatan tertentu. Tapi nyatanya perbuatan lain
yang dilakukannya. Orang yang berbuat salah ini kemudian merasa sedih karena
berbuat kesalahan yang tak sengaja dilakukannya itu. contoh ini terjadi
misalnya pada seorang dokter yang gagal menolong pasiennya hingga meningga dunia.
Dokter tersebut tak pantas dihukum karena ia tidak menghendaki pasiennya
meninggal dan tak menyukainya. Juga terjadi kepada orang miskin yang mencuri
harta orang kaya. Orang miskin, tak menghendaki mencuri, dan tak menyukainya,
namun lantaran ia tak memiliki pekerjaan, ditambah tuntuna hidup yang semakin
berat, akhirnya ia membuat kesalahan, ia mencuri harta orang lain. Orang
seperti ini, menurut Aristoteles, tak patut dihukum, melainkan diberi
pekerjaan. Jika setelah diberi pekerjaan, ia masih mencuri, maka status orang
ini bukan lagi berbuat jahat karena kesalahan, tetapi karena hawa nafsu,
penyebab kejahatan yang pertama tadi.
Dan yang terakhir, menurut Aristoteles, kejahatan yang
terjadi karena nasib buruk. Kejahatan
yang dilakukannya bukan karena dirinya, dan dia tidak sengaja melakukannya, dia
melakukannya karena ada factor dari luar dirinya atau nasib buruk. Misalnya,
seorang yang menaiki kuda liar, lalu kuda itu menabrak orang lain hingga tewas.
Penunggang kuda ini dianggap bernasib buruk. Atau orang yang mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan wajar, kemudian ada anak kecil yang berlari dan
tertabrak sedikit, tapi anak kecil itu tewas. Orang yang mengendarai sepeda
motor ini juga dianggap bernasib buruk. Maka sepantasnyalah orang seperti ini dikasihani
dan diampuni, dan tidak disalahkan atau dihukum. Tetapi kalau ada orang yang
mabuk, marah marah, tindakannya brutal dan kasar, naik motornya ngebut
ngebutan, lalu ia berbuat gegabah, lalu mencelakakan orang lain, maka orang ini
harus ditindak dan dikenai sanksi. Sebab, pangkal dari perbuatannya itu adalah
perbuatannya sendiri. Pangkal dari kecelakaan yang dibuatnya itu karena
perbuatan buruknya sendiri. Orang yang mabuk misalnya, kemudian menabrak orang
lain, maka ia patut dihukum. Karena orang yang mabuk sengaja menghilangkan akal
sehatnya secara sadar.
Itulah beberapa penjelasan tentang konsep keadilan dan
hukum dari Aristoteles, yang termuat dalam karangannya yang berjudul Nihomachea
Ethic. Disini kita dapat menimbang, apakah hukum yang ditegakan di Indonesia
berdasarkan asas ini. apakah hukum di Indonesia berdasarkan asas syariah yang
diajarkan oleh nabi Muhammad tentang keadilan. Konsep keadilan islam ternyata
tak jauh berbeda dengan konsep keadilan Aristoteles. Tergantung dari
manusianya, selama orang tersebut dikuasai hawa nafsu dan keserakahan, konsep
manapun yang digunakan, ia tetap akan lalim dan berbuat tidak adil. Wallahu
Alam bi shawwab.
Komentar
Posting Komentar